KAIDAH YANG TIDAK DISEPAKATI: KAIDAH KE-1 SAMPAI KE-10 DAN CONTOH-CONTOHNYA MAKALAH
KAIDAH
YANG TIDAK DISEPAKATI: KAIDAH KE-1 SAMPAI KE-10 DAN CONTOH-CONTOHNYA
MAKALAH
TAHUN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sebuah kaidah fikih dikatakan bahwa pandangan lain yang masih diperselisihkan
ulama maka tidak boleh serta merta diingkari. Berbeda dengan pandangan yang
telah disepakati ulama, maka boleh mengingkari pandangan yang sebaliknya.
Sementara itu, hampir seluruh ulama sepakat bahwa ajaran yang mukhtalaf fihi
jauh lebih banyak ajaran yang muttafaq ‘alaih yang berarti takfir dan idhlal
dalam ajaran Islam sangatlah sempit dan tidak mudah untuk mengkafirkan dan
memandang sesat pihak lain.
Masalah
tersebut timbul karena tidak adanya kesepakatan dikalangan para ulama tentang
ajaran yang termasuk dalam kategori mujma’ ‘alayhi dan mana yang termasuk dalam
ajaran mukhtalaf fihi. Akibatnya adalah tidak ada standar baku atas dasar apa
seseorang dapat dipandang kafir dan sesat. Dalam menyikapi permasalahan dalam
menerapkan kaidah mukhtalaf ini sesuai dengan pendapat yang dianggap lebih
unggul dari kedua sisi kaidah yang ada.
Oleh
karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang kaidah-kaidah fiqh yang
mukhtalaf atau yang tidak disepakati untuk memudahkan dalam mengetahui
khilaf-khilaf ulama dengan mempelajari kaidah-kaidah mukhtalaf ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kaidah mukhtalaf ?
2. Bagaimana penjelasan tentang kaidah-kaidah mukhtalaf kaidah ke-1
sampai ke-10 ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah yang Tidak Disepakati
Kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah yang
bersifat umum yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih yang spesifik menjadi
beberapa kelompok dan merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi
suatu masalah yang timbul dengan cara menggolongkan masalah yang serupa ke
dalam satu kaidah. Kaidah fiqih ada yang disepakati dan ada yang tidak
disepakati atau mukhtalaf.
Kaidah al mukhtalaf atau kaidah yang tidak
disepakati merupakan kaidah yang berbentuk pertanyaan pada satu tema tertentu
dengan dua jawaban atau lebih. Suatu permasalahan yang seharusnya memiliki
jawaban yang pasti, akan tetapi permasalahan dalam kaidah mukhtalaf terdapat
jawaban yang beragam. Disebut sebagai mukhtalaf karena kaidah ini merupakan
kaidah yang substansinya dikhilafkan dalam madzab Syafi’i.
Kaidah-kaidah mukhtalaf merupakan
kaidah-kaidah yang masih diperselisihkan dan tarjihnya juga tidak sama.
Terkadang juga terdapat cabang yang maish diperselisihkan akan tetapi hanya
sebagian atau karena masing-maisng mempunyai dalil yang tidak dapat
dikesampingkna. Munculnya jawaban yang berbeda meskipun berasal dari pertanyaan
yang sam tersebut disebabkan oleh tinjauan masing-masing ulama berbeda antara
satu sama lain. Menurut Imam Jalaludin al-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul al-Asybah
wa al-Nazhair menyebutkan bahwa ada 20 kaidah yang masih terdapat perbedaan
pendapat atau diperselisihkan para ulama.[1]
B. Kaidah yang Tidak Disepakati: Kaidah Ke-1 Sampai Kaidah Ke-10
1. Kaidah Pertama
اَلْجُمْعَةُ
ضُهْرٌمَقْصُوْرَةٌ أَمْ صَلَا ةُ مُسْتَقِلَّةُ؟
“Shalat Jum’at itu merupakan shalat Dzuhur
yang diringkas, ataukah shalat tersendiri?”.
Pendapat pertama :
Shalat Jum’at merupakan shalat Dzuhur yang diringkas.
Pendapat kedua :
Shalat Jum’at merupakan shalat tersendiri.
Contoh persoalan:
Dapatkah shalat Jum’at dijama’
dengan shalat Ashar? Menurut pendapat pertama yaitu boleh.
Sedangkan pendapat kedua yaitu tidak
memperbolehkan.
2. Kaidah Kedua
الَصَّلَاةُ خَلْفَ اْلمُحْدِثِ اْلمَجْهُوْلِ اْلحَالِ إِذَا قُلْنَا
بِالصِّحَّةِ هَلْ هِيَ صَلَاةُ جَمَا عَةٍ أَوْ اِفْرَادٍ؟
“Shalat di belakang orang yang hadats yang tidak diketahui keadaannya,
kalau kita mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan shalat jama’ah ataukah
shalat sendirian?”.
Pendapat pertama :
Shalat itu merupakan shalat jama’ah.
Pendapat kedua :
Shalat itu dihitung sebagaimana shalat sendirian.
Contoh persoalan:
Bagaimanakah seseorang yang makmum kepada orang lain yang hadats,
jika shalatnya itu shalat jum’at? Menurut pendapat
pertama mengatakan bahwa shalatnya sah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa shalatnya tidak sah.
3. Kaidah Ketiga
مَنْ أَتَى
بِمَايُنَا فِى اْلفَرْضَ دُوْنَ النَّفْلِ فِىْ أَوَّلِ فَرْضٍ أَوْأَثْنَا ئِهِ
بَطَلَ فَرْضُهُ وَهَلْ هِىَ تَبْقَ صَلاَ تُهُ نَفْلاً أَوْتَبْطُلُ؟
“Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan
fardlu bukan sunnah (seperti meninggalkan syarat atau rukun), baik pada permulaan
fardlu atau di tengahnya, maka batallah fardlunya, tetapi apakah kemudian
shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama sekali?”.
Pendapat pertama : Shalatnya menjadi sunnah.
Pendapat kedua : Shalatnya batal sama sekali.
Contoh persoalan:
Seseorang sedang shalat Ashar
sendirian. Baru mendapat dua raka’at, ia mendengar atau
melihat orang-orang lain hendak mengerjakan shalat jama’ah Ashar. Ia lalu salam
dan menghentikan shalatnya agar bisa mengikuti jama’ah.
Menurut pendapat pertama yaitu shalat yang dua raka’at tersebut menjadi shalat
sunnah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan
bahwa shalat dua raka’at itu batal sama sekali.
4. Kaidah Keempat
هَلْ يُسْلَكُ بِهِ مَسْلَكَ اْلوَاجِبِ أَوِالْجَا ئِزِ؟ اَلنَّذْرُ
“Nadzar itu apakah
berlaku sebagaimana wajib, ataukah jaiz?”.
Pendapat pertama :
Sebagaimana wajib.
Pendapat kedua :
Berlaku jaiz.
Contoh persoalan:
Seseorang melakukan puasa nadzar,
haruskah ia niat di waktu malam seperti dalam puasa fardhu?. Menurut
pendapat pertama yaitu harus niat diwaktu
malam seperti dalam puasa fardlu. Sedangkan pendapat kedua
mengatakan bahwa boleh niat diwaktu pagi.
Pengecualian:
Hukum sebagaimana yang tersebut di
atas, mengecualikan nadzar melakukan hal-hal yang mempunyai dua sifat, seperti
nadzar membaca fatihah di dalam shalat. Membaca fatihah dalam shalat hukumnya tetap wajib meskipun tidak dinadzari. Hanya saja apabila
membaca fatihah dalam shalat itu dinadzari, maka orang yang nadzar wajib niat
membaca fatihah tersebut. Jadi
jika tidak nadzar, maka membacanya wajib tetapi tidak harus
niat membaca. Sedangkan
jika
nadzar, maka membacanya wajib dan wajib pula niat
membacanya.[2]
5. Kaidah Kelima
هَلِ اْلعِبْرَةُ بِصِيَغِ الْعُقُوْدِ أَوْبِمَعَا نِيْهَا ( قو لان
)
“Apakah yang dihitung itu shighotnya aqad atau ma’nanya“. (ada dua pendapat).
Terdapat dua pendapat yaitu qaul
yang pertama mengatakan bahwa yang dihitung itu hanya shighatnya saja bukan maknanya.
Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa yang dihitung adalah maknanya.
Contoh:
Khalid memberi uang kepada umar dengan
janji supaya, umar memberi pakaian kepada Khalid. Menurut qaul yang pertama menjadi
akad hibah. Namun menurut qaul yang kedua akadnya menjadi akad jual beli.
6. Kaidah Keenam
اَلْعَيْنُ
اْلمُسْتَعَارَةُ لِلرَّ هْنِ هَلِ اْلمُغَلَّبُ فِيْهَا جَانِبُ الضَّمَانِ اَوْجَانِبٌ
اْلعَارِيَة ( قولان )
“Barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek dhoman
atau aspek ariyyah“. (ada dua
pendapat).
Terdapat dua pendapat yang berbeda
yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa barang yang dipinjam untuk digadaikan
itu dimenangkan dhoman. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa barang yang
dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek ariyyah.
Contoh:
Zahid meminjam jam tangan kepada umar
dan ia berkata: pak umar, saya meminjam jam tangan anda untuk saya gadaikan kepada
Khalid. Setelah jam tangan itu ditangan umar, dan sudah digadaikan kepada
Khalid, tiba-tiba rumah Khalid dibobol pencuri dan jam tangan tersebut hilang.
Menurut qaul yang pertama yang
mengatakan memenangkan dhoman, jam tangan itu tidak wajib diganti. Zahid tidak wajib
mengganti dan Khalid juga tidak wajib mengganti jam tangan yang hilang tersebut.
Akan tetapi, menurut qaul yang kedua yaitu Zahid wajib mengganti jam tangan
yang dipinjam dan hilang ditangan Khalid itu.
7. Kaidah Ketujuh
الْحَوَا لَةٌ هَلْ هِيَ بَيْعٌ اَوِ اسْتِفَا ءٌ ( خلا ف )
“Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar hutang”.
(perbedaan pendapat).
Terdapat dua pendapat yang berbeda
yaitu qaul yang pertama mengatakan bahwa hawalah sebagai jual beli. Sedangkan qaul
yang kedua mengatakan bahwa hawalah sebagai hutang.
Contoh:
Rais melemparkan hutangnya kepada umar
dan dia pun melempar lagi kepada Khalid. Transaksi disebut jual beli atau membayar
hutang. Qaul jual beli, berarti ada khiyar, tapi jika dianggap membayar hutang tidak
mengenal khiyar?
Menurut qaul yang pertama yaitu tetap
terdapat khiyar. Sedangkan qaul yang kedua mengatakan bahwa terdapat khiyar.[3]
8. Kaidah Kedelapan
اَلْإِرَاءُهِىَ إِسْقَاطٌ
أَوْتَمْلِيْكٌ
“Apakah
ibra’ itu menggugurkan atau menjadikan kepemilikan”.
Terdapat dua pendapat yaitu pendapat pertama
mengatakan bahwa ibra’ itu menggugurkan. Sedangkan pendapat kedua mengatakan
bahwa ibra’itu menjadikan kepemilikan.
Contoh:
Seorang anak memiliki hutang kepada bapaknya
kemudian bapak mengibra’kan atau membebaskan atas hutang anaknya. Pertanyaanya
apakah bapak boleh rujuk (mencabut ucapannya yang berarti tidak jadi
mengibra’kan) atau tidak boleh. Menurut pendapat yang pertama bapak tidak boleh
rujuk atau mencabut ucapannya. Sedangkan menurut pendapat yang kedua bapak
boleh saja rujuk atas ucapannya.
9. Kaidah Kesembilan
اَلْإِقَالَةُ هَلْ
هِيَ فَسْخٌ أَوْبَيْعٌ
“Iqolah
masuk dalam kategori fasakh atau bai’ (jual beli kembali)“.
Iqolah dan fasakh menurut artinya sama, akan
tetapi menurut pandangan fiqih dari segi penggunaannya fasakh artinya
membatalkan persetujuan, sedangkan iqolah artinya meninggalkan sebuah
transaksi.
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu
pendapat pertama mengatakan bahwa itu berarti fasakh. Sedangkan pendapat kedua
mengatakan bahwa itu berarti bai’.
Contoh:
Seorang muslim A membeli budak kafir B dari
seorang kafir C. Setelah selesai akad, budak B tersebut masuk Islam. Kemudian
seorang muslim A menyatakan bahwa ia tidak jadi membeli atau iqolah.
Jika hal ini
berarti fasakh atau merusak akad, maka iqolah boleh. Akan tetapi jika dianggap
sebagai bai’ atau penjualan kembali, maka iqolah tidak boleh karena seorang
muslim yang menjual budak muslim kepada orang kafir itu tidak diperbolehkan.
10. Kaidah Kesepuluh
الصَّدَا قُ
الْمُعَيَّنُ فِى يَدِ الزَّوْجِ قَبْلَ الْقَبْضِ مَضْمُوْنٌ ضَمَانَ عَقْدٍ
أَوْضَمَانَ يَدٍ
“Mas
kawin mu’ayan yang masih berada ditangan suami belum diserahkan kepada istrinya
apakah disebut madzmun dhoman akad ataukah madzmun yad”.
Terdapat dua pendapat yang berbeda yaitu
pendapat pertama mengatakan bahwa ditanggung dengan dhoman akad. Sedangkan
pendapat kedua mengatakan bahwa ditanggung dengan madzmun yad.
Contoh:
Seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan dan mas kawin yang telah dinyatakan emas seberat 20 gram. Akan tetapi
sampai satu tahun emas tersebut belum diberikan kepada istri. Lalu siapakah
yang harus mengeluarkan zakat atas mas kawin tersebut, suami ataukah istri?
Menurut pendapat pertama, maka pihak istri
tidak wajib mengeluarkan zakat atas mas kawin tersebut. Sedangkan menurut
pendapat kedua, maka istri wajib mengeluarkan zakat atas mas kawin tersebut.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kaidah Pertama
اَلْجُمْعَةُ ضُهْرٌمَقْصُوْرَةٌ أَمْ صَلَا ةُ مُسْتَقِلَّةُ؟
“Shalat
Jum’at itu merupakan shalat Dzuhur yang diringkas, ataukah shalat tersendiri?”.
2. Kaidah Kedua
الَصَّلَاةُ خَلْفَ اْلمُحْدِثِ اْلمَجْهُوْلِ اْلحَالِ إِذَا قُلْنَا
بِالصِّحَّةِ هَلْ هِيَ صَلَاةُ جَمَا عَةٍ أَوْ اِفْرَادٍ؟
“Shalat
di belakang orang yang hadats yang tidak diketahui keadaannya, kalau kita
mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan shalat jama’ah ataukah shalat
sendirian?”.
3. Kaidah Ketiga
مَنْ أَتَى
بِمَايُنَا فِى اْلفَرْضَ دُوْنَ النَّفْلِ فِىْ أَوَّلِ فَرْضٍ أَوْأَثْنَا ئِهِ
بَطَلَ فَرْضُهُ وَهَلْ هِىَ تَبْقَ صَلاَ تُهُ نَفْلاً أَوْتَبْطُلُ؟
“Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan fardlu
bukan sunnah (seperti meninggalkan syarat atau rukun), baik pada permulaan
fardlu atau di tengahnya, maka batallah fardlunya, tetapi apakah kemudian
shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama sekali?”.
4. Kaidah Keempat
هَلْ يُسْلَكُ
بِهِ مَسْلَكَ اْلوَاجِبِ أَوِالْجَا ئِزِ؟ اَلنَّذْرُ
“Nadzar itu apakah
berlaku sebagaimana wajib, ataukah jaiz?”.
5. Kaidah Kelima
هَلِ
اْلعِبْرَةُ بِصِيَغِ الْعُقُوْدِ أَوْبِمَعَا نِيْهَا ( قو لان )
“Apakah yang dihitung itu shighotnya aqad atau ma’nanya“.
6.
Kaidah Keenam
اَلْعَيْنُ اْلمُسْتَعَارَةُ
لِلرَّ هْنِ هَلِ اْلمُغَلَّبُ فِيْهَا جَانِبُ الضَّمَانِ اَوْجَانِبٌ اْلعَارِيَة
( قولان )
“Barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek dhoman
atau aspek ariyyah“.
7. Kaidah Ketujuh
الْحَوَا
لَةٌ هَلْ هِيَ بَيْعٌ اَوِ اسْتِفَا ءٌ ( خلا ف )
“Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar hutang”.
8. Kaidah Kedelapan
اَلْإِرَاءُهِىَ إِسْقَاطٌ
أَوْتَمْلِيْكٌ
“Apakah ibra’ itu menggugurkan atau menjadikan
kepemilikan”.
9. Kaidah Kesembilan
اَلْإِقَالَةُ هَلْ
هِيَ فَسْخٌ أَوْبَيْعٌ
“Iqolah masuk dalam kategori fasakh atau bai’ (jual beli
kembali)“.
10. Kaidah Kesepuluh
الصَّدَا قُ
الْمُعَيَّنُ فِى يَدِ الزَّوْجِ قَبْلَ الْقَبْضِ مَضْمُوْنٌ ضَمَانَ عَقْدٍ
أَوْضَمَانَ يَدٍ
“Mas kawin mu’ayan yang masih berada ditangan suami belum
diserahkan kepada istrinya apakah disebut madzmun dhoman akad ataukah madzmun
yad”.
B. Saran
1. Bagi pemakalah dimohon untuk lebih giat dalam memepelajari makalah, mencari
sumber materi maupun mempelajari tema pembahasan agar lebih memahami materi
yang disampaikan.
2. Pemakalah masih memerlukan banyak masukan maupun pembenaran apabila ada
kesalahan, maka dimohon kepada dosen pengampu mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah untuk
memberi masukan atas makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. 2001. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh.
Jakarta: Kalam Mulia.
Bisri, Moh. Adib. 1977. Tarjamah Al Faraidul
Bahiyyah: Risalah Qowaid Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Yasin. 2009. Qawaid Fiqhiyah. Kudus:
STAIN Kudus.
Komentar
Posting Komentar