MAKALAH GOOD GOVERNONCE



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Setiap mendengar kata pemerintahan, mayoritas orang sering mengkonotasikan negative. Persepsi masyarakat yang buruk ini muncul karena beberapa kasus pemerintah yang gagal menjalankan visinya, kasus itu salah satunya korupsi. Korupsi di Negara ini sepertinya semakin menjamur meski beberapa langkah hukum sudah ditindak untuk membuat para pelaku koruptor jera. Namun sepertinya berbagai usaha yang telah dilakukan tidak ada hasil, koruptor tetap ada dan seperti sudah menjadi budaya.
Persepsi masyarakat yang buruk terjadi karena pandangan masyarakat hanya tertuju pada hal negative, seperti kasus koruptor. Padahal, tidak semua pemerintahan bernilai buruk, tetapi ada yang bernilai positif. Contoh pemerintahan yang positif pernah di contohkan oleh seorang presiden kita, beliau Bapak Soeharto. Ketika masa pemerintahan Bapak Soeharto beliau berhasil membuat rakyat makmur salah satunya dengan harga sembako yang murah. Ketika itu mayoritas rakyat meyakini bahwa pemerintahan itu baik, bersih dan membuat rakyat sejahtera. Namun di masa sekarang pandangan baik itu telah pudar dalam lingkup masyarakat.
Seorang peneliti dari CIDES Jakarta, yakni Fathullah dan MHR Songge menyoroti tentang adanya proses transisi Indonesia dari masa Orde Baru ke Orde Reformasi yang diawali oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Peneliti ini beranggapan bahwa kesalahan kepemimpinan di Indonesia, mulai dari Orde Lama sampai Orde Baru adalah terjadinya kesalahan kebijakan, penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam konteks penyelenggaraan fungsi dan pemerintahan. Kesalahan kebijakan dan penyimpangan kekuasaan tersebut bisa ditelusuri lewat bidang ekonomi, politik, dan budaya yang diterapkan oleh pemerintahan di masa lalu.
        Dalam konteks ekonomi misalnya, terdapat kesalahan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan yang menerpa bangsa Indonesia hingga menyentuh pada titik yang memperihatinkan. Dalam konteks politik, penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dilihat pada dominasi dan hegemoni penyelenggaraan Negara terhadap rakyat, sehingga secara tidak langsung membuat ketimpangan pemberlakukan hukum bagi pelaksana pemerintahan dengan rakyat sendiri. Sedangkan dalam konteks budaya, terdapat kesalahan kebijakan pada adanya dominasi budaya tertentu, sehingga budaya local lainnya tidak sempat tergali dan tenggelam dalam kancah budaya nasional.[1] Melihat berbagai fenomena, maka penting sekali untuk menata tatanan pemerintahan yang lebih bersih dan accountable melalui penetapan good governance di Indonesia. Atas dasar itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih spesifik dengan mengangkat judul makalah, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Gonernance).
2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana yang dimaksud dengan Good and clean governance?
2.      Bagaimana prinsip dari Good and clean governance?
3.      Bagaimana pelaksanaan prinsip good governance dan clean governance dalam sistem pemerintahan negara ?
3.      Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui lebih mendalam tentang apa yang dimaksud dengan Good and Clean Governance.
2.      Mengetahui dan menjelaskan apa saja  yang menjadi bagian dari prinsip-prinsip Good and Clean Governance.
3.      Mengetahui dan menjelaskan bagaimana alur pelaksanaan prinsip Good and clean governance dalam system pemerintahan Negara.
4.      Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoretis
Hasil pembahasan secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti berupa informasi dan solusi perihal diterapkannya tata kelola pemerintahan yang baik dan benar dalam lingkup masyarakat sampai Negara. Dapat pula sebagai rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2.      Manfaat Praktis
Penulisan ini mempunyai manfaat praktis bagi:
a.       Penulis
Bermanfaat untuk menemukan solusi dalam meningkatkan pemahaman tentang pentingnya penerapan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar demi menciptakan keharmonisan masyarakat dan kepercayaan masyarakat akan hasil kerja pemerintah untuk menciptakan peradaban dunia.
b.      Mahasiswa.
Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dan uswah terhadap implementasi tata kelola pemerintahan yang baik dan benar di kalangan mahasiswa, memberikan pengayaan terhadap mahasiswa tentang konsep, gagasan, urgensi serta aspek-aspek fundamental dalam konteks penegakan Good Governance.




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Definisi Good and Clean Governance.
Bagaimanapun manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupannya manusia tidak dapat lepasa dari peraturan dan norma yang dibuatnya sendiri maupun dipaksakan oleh lingkungannya. Hal ini karena adanya keterbatasan kemampuan dalam diri manusia. Keterbatasan inilah yang kemudian disimpulkan oleh Ibnu Khaldun bahwa “manusia adalah makhluk social.”
Konon sebelum dikenal pemerintahan seperti sekarang ini, manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertahankan diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang lain dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap yang lemah. Hobbes menjelaskan konflik-konflik itu sebagai suatu keadaan perang antara “semua melawan semua.” Dalam keadaan demikian huru-hara dan kekacauan tidak bisa dihindarkan  dari keseharian manusia. Mereka yang kuatlah yang menikmati kebebasan. Keadilan dan ketertiban hanya sebagai ilusi. Sampai lahir kesadaran dari kalangan orang kuat yang selanjutnya menjadi orang bijaksana untuk menciptakan situasi masyarakat yang teratur dan bagaimana ketertiban itu dapat di pelihara. Disinilah apa yang dimaksud dengan pemerintahan mulai dipahami.[2]
Pemerintahan atau “government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc.” (Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah Negara, Negara bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantic, kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan and good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.
Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Dalam versi World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administrative menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal ini bagi pemerintahan maupun swasta di Indonesia ialah merupakan suatu terobosan mutakhir dalam menciptakan kredibilitas public untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal.
Clean Governance adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good Corporate adalah tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without government berarti bahwa pemerintahan tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintahan.
Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good governance. Kita ambil satu saja sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam laporannya tentang governance and development tahun 2002 mengartikan good governance sebagai pelayanan public yang efisien, system pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya.[3]
Oval: PemerintahOval: PemerintahGovernment                                                                                 Governance








 




Kepemerintahan yang baik adalah terciptanya suatu keadaan yang member rasa nyaman menyenangkan bagi para pihak dlam suasana yang berkepemimpinan yang demokratis menuju masyarakat adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para pihak yang dimaksud ialah pemerintahan yang baik dalam hal ini eksekutif, parlemen yang baik, anggota legislative yakni DPRD. Rakyat yang baik, tokoh, cendekiawan, pengusaha, ketiga para pihak ini merupakan aktor yang sangat penting dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik. Ketiga para pihak ini harus saling bekerjasama, berkoordinasi, bersinergis dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, sehingga apa yang kita harapkan yakni kepemerintahan yang baik (Good Governance) dapat terwujud.
Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-undang (UU). Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan Negara, atau management (pengelolaan) yang artinya adalah kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintahan. Governance itu sendiri memiliki unsure kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga Negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik dan menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain).
Clean and good governance juga harus di dukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan yang di Indonesia karena kenyataan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama maupun budaya.
2.      Prinsip-Prinsip Good and Clean Governance.
Kendati diawali oleh tawaran badan-badan international, namun cita good governance kini sudah menjadi bagian dari diskursus serius dalam wacana pengembangan paradigm birokrasi dan pembangunan ke depan. Dari berbagai hasil kajiannya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan 9 aspek fundamental dalam perwujudan good governance, yaitu:
a.       Partisipasi (Participation)
           Semua warga masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun nelalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b.      Penegakan Hukum (Rule of Law)
           Partisipasi dalam masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan public memerlukan system dan aturan-aturan hukum. Tanpa di imbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis. Ditambahkan pula bahwa pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah system dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian.
           Dalam proses mewujudkan cita good governance, terdapat beberapa karakter yang harus dimiliki oleh prinsip penegakan hukum yaitu: supremasi hukum (the supremacy of law), kepastian hukum (legal certainty), hukum yang reponsif, penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, dan independensi peradilan.
c.       Transparansi (Transparency)
           salah satu yang dapat menimbulkan dan member ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan. Oleh karena itu, Michael Camdessus, dalam salah satu rekomendasinya pada PBB untuk membantu pemulihan (recovery) perekonomian Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, khususnya transparansi dalam transasksi keuangan Negara pengelolaan uang negara di Bank Sentral (BI) serta transparansi sector-sektor public.
           Gaffer menyimpulkan setidaknya ada 8 aspek mekanisme pengelolaan Negara yang harus dilakukan secara transparan yaitu: 1). Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan. 2). Kekayaan pejabat public. 3). Pemberian penghargaan. 4). Penetapan Kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan. 5). Kesehatan. 6). Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan public. 7). Keamanan dan ketertiban. 8). Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
d.      Responsif (Responsiveness)
           Salah satu asas fundamental menuju cita good governance adalah responsive, yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffer menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya itu, tetapi seyogianya pemerintah secara proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan srategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut.
e.       Konsensus (Consensus Orientation)
           Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara consensus, yakni pengambilan keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuasaan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksaan keputusan. Pelaksanaan prinsip pada praktiknya sangat terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerinathan, kultur demokrasi, serta tata aturan dalam pengambilan kebijakan yang berlaku dalam sebuah system.
f.       Kesetaraan dan keadilan (equity)
           Terkait dengan asas consensus, transparansi dan responsive, good governance juga harus di dukung dengan asas equity yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan. Asas ini dikembangkn berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia ini tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama dan budaya. Pluralisme ini tentu saja pada satu sisi dapat memicu masalah apabila dimanfaatkan dalam konteks kepentingan sempit seperti primordialisme, egoism dan sebagainya. Karenanya prinsip equity ini harus diperhatikan agar tidak muncul ekses yang tidak di inginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
g.      Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
           Di samping harus memperhatikan berragam kepentingan dari berbagai lapisan dan kelompok social sebagaimana ditekankan pada asas equity, pemerintahan yang baik juga harus memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi, yakni berdayaguna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan social. Sedangkan efisiensi dapat diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan itu termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien. Citra itulah yang menjadi tuntunan dalam upaya mewujudkan cita good governance.
h.      Akuntabilitas (accountability)
           Asas akuntabilitas menjadi perhatian dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan pemerintahan Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitasnya itu. Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban dan kewenangan untuk mengurusi masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka. Setiap pejabat public di tuntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju menuju cita good governance.
i.        Visi Strategis (Strategic Vision)
           Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudkan good governance karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Bangsa-bangsa yang tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan, tidak saja akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia, tetapi juga akan terperosok pada akumulasi kesulitan, sehingga proses recoverynya tidak mudah.
           Oleh sebab itu, sudah saatnya semua komponen bangsa bersatu padu memikirkan tentang bangsanya ke depan, dan menunda bahkan mengeliminir sekat-sekat etnik, ras, budaya, agama dan friksi-friksi keagamaan yang menggiring kearah friksi aliran dan kepentingan politik. Selama bangsa ini belum menggalang persatuan dan kesatuan, dan terus menerus dalam konflik, maka energy bangsa akan habis dengan konflik itu, tanpa sempat memikirkan dan merumuskan blueprint bangsa ke depan.[4]
3.      Penerapan Prinsip Good and Clean Governance dalam Pemerintahan Negara.
Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini belum pernah mampu mengembangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah gerakan reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan KKN (Clean Governance). Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personal yang tidak kredibel, serta kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepengurusan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance?
        Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat memerluka Good Governance. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah menjelma menjadi bagian yang efektif dari goog governance Indonesia. Masa depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
        Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbulnya good governance adalah dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang telah berkembang selama 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan terbuka.
        Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance tersebut diatas merupakan nilai-nilia universal yang sifatnya sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999-2004, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan system pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna.
Di Indonesia, substansi wacana Good Governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang di atur oleh berbagai tingkatan pemerintah Negara yang berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya, politik serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahan yang bersih (clean governance) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transpraran dan bertanggungjawab.
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsure dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktifitas bersinergi dengan peningkatan indicator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.[5]
Untuk mewujudkan cita good governance dengan asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan di atas, berikut adalah 5 aspek priotitas dalam mewujudkan good governance:
a.       Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
           Lembaga perwakilan rakyat, yakni DPR dan DPRD harus mampu menyerap dan mengartikulasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program operasional sesuai rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan tersebut. Kemudian, lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) terus melakukan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif, sehingga seluruh gagasan dan aspirasi yang dikehendaki rakyat melalui para wakilnya itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga eksekutif.
b.      Kemandirian Lembaga Peradilan
           Kesan paling buruk dari pemerintahan orde baru adalah ketidakmandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dan menegakkan asas rule of the law. Hakim, jaksa dan polisi tidak bisa dengan leluasa menetapkan perkara, sehingga mereka tidak mampu menampilkan dirinya sebagai the prophet of law.
           Lahirnya UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih korupsi, kolusi dan nepotisme pun belum mengubah citra pemerintah menjadi lebih baik karena belum diikuti oleh political action yang serius dalam pemberantasan KKN. Sementara konsep peradilan yang bersih dan professional belum jelas, dan baru menjadi wacana atau diskursus di sekitar kalangan akademisi serta praktisi hukum yang peduli terdapap judicial independence. Untuk mewujudkan Good Governance lembaga peradilan dan aparat penegak hukum yang mandiri, professional dan bersih menjadi persyaratan yang mutlak.
c.       Aparat Pemerintah yang Professionaldan Penuh Integritas.
           Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam memberikan pelayanan public, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian, pembaharuan konsep dan mekanisme kerja birokrasi merupakan sebuah keharusan dalam proses menuju cita good governance. Jajaran birokrasi harus di isi oleh mereka yang memiliki kemampuan professional baik, memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya. Karena itu paradigm pengembangan birokrasi ke depan harus di ubah menjadi birokrasi populis, yakni jajaran birokrasi yang peka terhadap berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat serta memiliki integritas untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dengan pelayanan yang prima.
           Good Governance memang bukan obat jangka panjang yang menyembuhkan, tetapi bisa jadi hanya sekedar jargon politik atau perisai bagi system yang korup. Ini berarti agenda anti korupsi haruslah dijalankan dengan merombak system pada dua arah perubahan sekaligus:
           Pertama, merombak tatanan ekonomi, social, politik yang ada menuju tatanan yang sama sekali baru yang dilengkapi dengan pondasi anti korupsi yang kuat. Hal ini berarti pula agenda korupsi haruslah berurusan dengan perombakan paket perundang-undangan politik dan system peradilan yang bebas dan adil. Kedua, meneguhkan agenda anti korupsi berbasis gerakan social, agar dengan begitu ada control masyarakat yang kuat terhadap penanganan kasus-kasus korupsi.[6]
d.      Masyarakat Madani (Cicil Society) yang Kuat dan Partisipatif.
           Perwujudan cita good governance juga mensyaratkan partisipasi masyarakat sipil yang kuat. Proses pembangunan dan pengelolaan Negara tanpa melibatkan masyarakat madani (civil society) akan sangat lamban, karena potensi terbesar sumber daya manusia justru ada di kalangan masyarakat ini. Oleh sebab itu berbagai kebijakan hukum harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi, tidak hanya dalam sector ekonomi dan politik, tetapi juga dalam perumusan kebijakan public.
e.       Penguatan Upaya Otonomi Daerah.
           UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan sector-sektor tertentu, seperti sector kehutanan, pariwisata, kooperasi, pertanian, pendidikan dll. Dengan kewenangan itu daerah akan menjadi kuat dan dinamis.[7]
       


BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Istilah governance tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti kepengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Adapun beberapa dari aktor kepemerintahan adalah: Pertama, Negara dan kepemerintahan yang mempunyai tanggungjawab di bidang hukum, pelayanan public, desentralisasi, transparansi umum dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, Sektor swasta yang berperan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Ketiga, Masyarakat madani yang harus diberdayakan agar berperan aktif dalam mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik.
Adapun good governance bersenyawa dengan system administrasi Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Wujud kepemerintahan yang baik (good governance) adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang secara solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan mensinergikan interaksi yang kosntruktif diantara domain-domain Negara, sector swasta dan masyarakat (society).
 Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan. Pada sisi lain, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan konsep good governance kepada seluruh jajaran pemerintahan karena konsep tersebut menjadi salah satu ukuran keberhasilan birokrasi pemerintahan.
2.      SARAN
        Mudah-mudahan kedepan pelayanan yang di berikan melalui konsep good governance akan menjadikan kehidupan masyarakat semakin harmonis, lebih mudah dalam memperoleh pelayanan dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang ada di pemerintahan negeri serta tidak membutuhkan biaya yang besar untuk memperoleh sebuah pelayan.
Sebagai obat terhadap penyakit pelayan yang terjadi selama ini adalah konsep good governance, dapat di terapkan kepada petugas pelayan publik yang ada di negeri. Dengan cara memberikan pelatihan pelayanan publik kepada petugas yang ada di negeri. Sekali lagi kita berharap pelayan publik yang efesiean efektif dan akuntabilitas dapat di wujudkan di negeri.














Daftar Pustaka
Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007
Kumorotomo, Wahyudi, dkk, Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Professional, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2009
Razak, Abdul, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education), Jakarta: Prenada Media, Desember, 2004
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000
Ubaidillah, Ahmad, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000



[1] Abdul Razak, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education), Jakarta: Prenada Media, Desember, 2004, hal 144.
[2] A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, hal 95.
[3] Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hal 37.
[4] Dede Rosyada, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000, hal 190.
[5] Op, Cit., Budiyanto, hal 43.
[6] Wahyudi Kumorotomo, dkk, Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Professional, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2009, hal 14.
[7] Op, Cit., Dede Rosyada, hal 192.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH “AL-HAKIM, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH”

PERKEMBANGAN ISLAM DI ASIA DAN NASIB ISLAM MASA KINI Makalah

MAKALAH PEGADAIAN DAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)