MANIFESTASI GUSJIGANG PADA MAHASISWA JAMAN NOW
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Melihat berbagai fenomena aneh yang terjadi di
kalangan remaja zaman sekarang menjadikan kata “Kids Jaman Now” semakin viral.
Adegan aneh semakin membludak di dunia maya, semua berlomba untuk menjadi viral
dengan menyuguhkan hal nyeleneh. Seperti
anak SD yang mulai kasmaran, anak SMP yang sudah pacaran, hingga anak SMA yang
melakukan adegan amoral. Semua hal aneh di unggah tanpa memedulikan manfaat dan
dampaknya untuk orang lain, sehingga tindakan para generasi millenial yang
cenderung bertindak tanpa dipikir terlebih dahulu, membuat “generasi micin”
juga disandangkan kepada generasi millennial.
Semenjak muncul kata “kids jaman now” yang
menggambarkan remaja masa kini yang perilakunya sangat jauh berbeda dengan
jaman dahulu, muncul pula beberapa kata seperti siswa jaman now, santri jaman
now, hingga mahasiswa jaman now yang kesemuanya menyimpan makna; keresahan,
betapa jauh berbedanya perilaku generasi sekarang yang dengan generasi masa
dulu.
Berbagai fenomena memprihatinkan yang terjadi di
kalangan remaja saat ini menunjukkan bahwa remaja sedang dalam kondisi darurat
moral. Masalah moral yang semakin krisis menjadi perhatian semua orang karena
dampak dari rusaknya moral seseorang akan mengganggu ketentraman dalam tatanan
masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi seperti pembullyan, anak Sekolah Dasar
(SD) yang melakukan pelecehan seksual dengan teman sekelasnya sampai dengan
adegan seorang dua remaja yang sedang melakukan adegan seks ditempat umum, menunjukkan bahwa moral
anak-anak bangsa sedang ‘sakit’ dan harus segera di ‘obati’.
Krisis moral yang saat ini sedang melanda para
pemuda harapan bangsa seyogianya segera ditangani agar dampaknya tidak semakin
merambah ke dalam setiap lapisan masyarakat. Adapun salah satu alternative yang
dapat diterapkan dalam proses perbaikan moral para pemuda bangsa adalah dengan
menanamkan karakter gusjigang dalam
diri pemuda bangsa terkhusus mahasiswa.
Gusjigang; sebagai salah satu ajaran Sunan Kudus
yang sarat makna bahwa seyogianya menjadi seorang pribadi yang bagus akhlak,
pintar mengaji hal agama dan umum, serta pandai berwirausaha. Sebuah konsep
yang sangat menarik dan tepat sekali dijadikan referensi karakter untuk
generasi masa kini yang sedang darurat moral. Atas dasar itulah, penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam dengan mengangkat judul, “Manifestasi Gusjigang Pada Mahasiswa Jaman
Now.”
2.
Rumusan
Masalah
Berbagai argument pengantar di atas maka terkristal
dua rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana
nilai filosofi yang terkandung dalam ajaran Gusjigang?
b. Bagaimana
aktualisasi Gusjigang pada mahasiswa
jaman now?
3.
Tujuan
Penelitian
a. Mengetahui
dan menjelaskan nilai filosofi apa saja yang terkandung dalam sebuah ajaran
Sunan Kudus yaitu Gusjigang.
b. Menjelaskan
bagaimana proses aktualisasi Gusjigang ke
dalam setiap pribadi, khususnya mahasiwa.
4.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil pembahasan secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti
berupa informasi dan solusi bagi pengembangan karakter baik melalui aktualisasi
gusjigang untuk generasi millennial terkhusus mahasiswa. Dapat pula sebagai
rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini mempunyai
manfaat praktis bagi:
a. Penulis
Bermanfaat untuk menemukan solusi dalam
meningkatkan pemahaman tentang urgensi gusjigang di masa kini bagi pengembangan
karakter sekaligus ‘obat’ bagi generasi masa kini yang sedang darurat moral.
b. Masyarakat
Hasil dari penulisan ini dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran dan uswah terhadap implementasi gusjigang bagi
pengembangan karakter generasi millennial, untuk semua pemuda zaman sekarang
dan mahasiswa di kudus khususnya yang akan memberikan sumbangsih terbaik guna
peradaban dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filosofi
Gusjigang
Terdapat sebuah ajaran Sunan Kudus yakni Gusjigang yang mengajarkan bagaimana
seyogianya hidup di dunia dan di akhirat yang diajarkan kepada semua masyarakat
Kudus. Gusjigang mempunyai kepanjangan Gus;
bagus, Ji; ngaji, Gang; dagang yang kesemuanya mempunyai makna tersendiri.
Kata “Gus” yang
bermakna bagus ini yang dimaksudkan adalah bagus akhlaknya, atau pentingnya
memiliki akhlak yang mulia (akhlakul
karimah) bagi setiap individu. Hal ini menyangkut akhlak kepada Allah SWT,
Rasulullah, sesama manusia maupun kepada lingkungannya sebagaimana diajarkan
dalam Islam.[1] Gus yang mempunyai arti bagus mengandung
artian bahwa menjadi seorang pribadi yang tidak hanya bagus fisik, tetapi juga
perlunya bagus hati, bagus akhlak dan bagus budi pekertinya.
Kata “Ji” berasal
dari kata ngaji (mengaji) yang
biasanya dalam tradisi masyarakat kudus lebih dimaknai sebagai kegiatan
menuntut ilmu yang diselenggarakan oleh kyai kampong di masjid, mushola atau
langgar. Karena itu kegiatan mengaji selalu sarat dengan nilai-nilai spiritual
kesilaman baik pada tataran teoritis-tekstual maupun praktis-ritual.[2]Ji yang berarti ngaji yang mengandung
maksud bahwa menjadi seorang pribadi yang sebaiknya selalu mengaji di manapun
dan mengaji apapun; tidak hanya ilmu agama tetapi juga ilmu pengetahuan yang
merupakan manifestasi dari ayat-ayat kauniyah.
Kata “Gang” berarti
dagang. Dagang adalah akar pembangunan semangat entrepreneurship (kewirausahaan) yang paling mendasar. Nilai utama
dalam budaya wirausaha adalah kemandirian,
kreatif dan inovatif.[3]
Gang yang berarti berdagang,
mempunyai maksud seyogianya menjadi seorang pribadi yang kreatif dalam
berdagang; berlatih berwirausaha untuk mempersiapkan personal yang mandiri dan
dapat membantu perekonomian Negara.
Gusjigang
yang merupakan perpaduan antara kecerdasan pikiran, kecerdasan spiritual dan
kecerdasan emosional tepat sekali dijadikan sebagai referensi moral generasi
bangsa yang sedang darurat, khsususnya di kalangan mahasiswa, yang seyogianya
dimiliki dan ditanamkan dalam jiwa setiap mahasiswa jaman now.
B.
Aktualisasi
Gusjigang Pada Mahasiswa Jaman Now.
Sejak tujuh-puluhan sampai sekarang pembangunan
karakter dan pembangunan bangsa (character
and nation building) tidak banyak mendapati perhatian, khususnya dalam
kaitannya dengan pendidikan. Dunia pendidikan banyak dilontarkan tema-tema yang
lebih praktis seperti menyiapkan lulusan siap pakai dan pendidikan berbasis
kompetensi. Dengan kata lain, pendidikan cenderung dilihat hanya sebagai
instrument untuk menyiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
ekonomi. Dalam perspektif ini manusia hanya dipandang sebagai faktor produksi.[4]
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam
kelas menengah yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di
masyarakat. Bahkan di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling
terdidik yang harus diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan
Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Menurut esensinya, mahasiswa memiliki beberapa
fungsi strategis. Pertama,
penyampaian kebenaran (agent of control). Sebagai seseorang yang terdidik
dengan ilmu yang mumpuni, maka menyebarkan kebaikan sebagai usaha untuk menuju
perubahan yang lebih baik sudah menjadi kewajiban. Namun, tidak bisa dipungkiri
mahasiswa sebagai contol perubahan terkadang juga kurang dapat mengontrol
dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang
dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang
banyak menghinggapi mahasiswa.
Kedua, mahasiswa
sebagai agen perubahan (agent of change).
Hampir tidak ada yang mengingkari bahwa sejarah perjalanan bangsa ini tidak
bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa. Periode sebelum kemerdekaan hingga awal
kemerdekaan sampai era reformasi, mahasiswa mampu menampilkan dirinya sebagai
agen perubahan (agent of social change) dan
agen intelektual (agent of intellectual).[5]
Mahasiswa sudah terlanjur di kenal dalam masyarakat
sebagai agent of change, agent of
modernization, dan agen-agen lainnya. Hal ini memberikan konsekuensi logis
kepada mahasiswa untuk bertindak sesuai dengan gelar yang disandangnya.
Mahasiswa harus menyadari bahwa banyak hal di Negara ini yang harus diluruskan
dan diperbaiki. Kepedulian terhadap Negara dan komitmen terhadap nasib bangsa
di masa depan harus di interpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang
positif.
Dalam lingkungan masyarakat, semisal di Desa
Kedungsari yang menjadi bagian dari desa yang ada di Kota Kudus, keaktifan
mahasiswa dalam lingkungan masyarakat sangat diharapkan. Sebagai seorang yang
sudah dewasa dan berkompeten, mahasiswa dipercaya dapat memegang kendali untuk
menertibkan dan memakmurkan sebuah desa. Hal itu terbukti ketika misalnya kalau
ada acara 17 agustusan, seorang mahasiswa dipercaya dapat memeriahkan dan mensukseskan
acara tersebut. Tidak hanya itu, dalam hal lain misalnya, kalau di Desa
Kedungsari akan mengadakan sebuah pengajian maka mahasiswa diberikan amanat
untuk memegang tanggungjawab penuh atas acara tersebut, mulai dari pencarian
dana, merencanakan rangkaian acara sampai mensukseskan acara ketika
berlangsung.[6]
Maka, peranan mahasiswa dalam masyarakat menjadi hal yang vital
Ketiga, mahasiswa
sebagai generasi penerus masa depan. Sebagai seseorang yang telah matang
usianya, kritis daya pikirnya dan mempunyai segenap ilmu yang mumpuni,
mahasiswa tepat sekali menjadi generasi penerus perjuangan bangsa dan sudah
saatnya berkontribusi nyata untuk kebaikan Indonesia masa depan. Hal itu dapat
dilakukan dengan mengasah keahlian dan spesialisasi di bidang ilmu yang mereka
pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan social
ketika telah terjun dalam masyarakat.
Sebagai seorang mahasiswa yang mempunyai
tanggungjawab besar, yakni menjadi agen control social, agen control perubahan
dan penerus generasi masa depan sudah seyogianya memiliki karakter baik untuk
menjalankan segenap tanggungjawabnya dengan maksimal.Pembentukan karakter
sangat diperlukan demi terciptanya masyarakat yang harmonis. Sebab bila
seseorang telah kehilangan karakter baiknya, ia akan kehilangan sisi geniusnya dan kehadirannya di
public kehilangan kebermanfaatan.
Seorang pendiri dan guru bangsa kita beliau K.H.
Hasyim Asy’ari dalam karya klasiknya Adabul
‘Alim wal Muta’allimin: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan
maupun perbuatan tidak akan dihitung kecuali disertai dengan perilaku serta
budi pekerti yang terpuji. Sebuah ajaran Sunan Kudus yang sarat dengan karakter
baik dalam hal ini tepat sekali untuk dijadikan referensi dalam bermoral bagi
generasi millennial yang sedang dilanda ‘sakit’ adalah Gusjigang.
Di Kudus, ada sebuah istilah yang dinisbatkan untuk
masyarakat Kudus yang suka berdagang, yaitu istilah Gusjigang. Istilah dan
filosofi Gusjigang (bagus, ngaji dan dagang) selama ini diyakini sebagian orang
sebagai citra diri masyarakat Kudus. Filosofi ini merupakan warisan budaya yang
konon dicetuskan oleh Sunan Kudus sebagai peletak dasar Kota Kudus. Gusjigang
mengisyaratkan bahwa tapak laku Muslim itu haruslah bagus (baik), bisa mengaji
dan pandai berdagang. Ada semacam integritas antara perilaku agama dan
pekerjaan, yang ketiga hal tersebut tentu saja menjadi karakter bagi setiap
manusia.[7]
Melihat berbagai fenomena aneh yang terjadi di
kalangan remaja atau generasi millennial sedang darurat moral, maka diperlukan
pencegahan segera agar perilaku yang nyeleneh
tidak semakin membudaya. Generasi yang diharapkan Negara ini malah sibuk
melakukan hal nyeleneh, berebutan
viral dan menjadi sosialita. Generasi yang seharusnya meneruskan estafet
perjuangan bangsa ini malah sibuk membudayakan hal negative yang memberikan
dampak pada masyarakat melalui social media. Mahasiswa sebagai insan dewasa
yang terdidik, terkhusus mahasiswa STAIN Kudus seyogianya mampu memberikan
contoh dalam bersikap dan berkarakter dengan baik dengan menerapkan Gusjigang yang menjadi salah satu buah
ajaran Sunan Kudus seorang Waliyullah di Kota Kudus.
Lance Morrow mengatakan, “Transmisi nilai-nilai
kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa peradaban tak
selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot
–kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan utama –kekuatan karakternya
–kepada generasi barunya.” Jelaslah,
bahwa semakin rusaknya moral generasi bangsa semakin rusak pula tatanan masyarakat
dan hilanglah keharmonisan dalam masyarakat.
Gusjigang yang
merupakan gabungan dari beberapa makna menyimpan beberapa nilai karakter yang
penting sekali untuk diterapkan pada setiap pribadi generasi masa kini
terkhusus mahasiswa. Pertama, gus yang
berarti bagus dalam hal akhlak. Jika pesan ini di aktualisasikan dalam lingkup
mahasiswa, maka bagusnya akhlak mahasiswa adalah salah satunya dengan memiliki
rasa tanggungjawab dengan ‘title mahasiswanya.’ Berdasarkan survey kepada
beberapa mahasiswa terdapat mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) dan ketika
diberi tugas hanya menggantungkan diri kepada teman; tidak mau bekerja sendiri.
Jika hal ini dibiarkan terus berkelanjutan, maka untuk menciptakan generasi
yang handal dan mandiri menjadi hal yang mustahil. Maka, salah satu ikhtiar
untuk mencetak generasi yang mandiri adalah dengan menginternalisasikan nilai gus ini pada setiap pribadi.
Memiliki pikiran yang merdeka merupakan salah satu
kriteria karakter baik yang harus dimiliki oleh mahasiswa masa kini. Semisal
dalam membuat makalah, seharusnya seorang mahasiswa tidak menyalin semua
kalimat yang terdapat dalam sebuah buku, karena itu sama saja dengan mengcopy paste. Seyogianya dalam membuat
makalah seorang mahasiswa boleh mengambil teori dari seseorang yang ahli lalu
dikembangkan dengan daya pikirnya sendiri. Selain melatih pikiran supaya
‘merdeka’ hal ini juga mentradisikan untuk mengasah daya pikir yang mandiri,
kreatif dan inovatif.[8]
Kedua, ji yang
bermakna ngaji. Ngaji yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya mengaji dalam
agama saja, tetapi mengaji ilmu-ilmu umum yang merupakan manifestasi dari
ayat-ayat kauniyah seperti ilmu bahasa, ekonomi, teknologi, sains, dan
ilmu-ilmu lainnya. Jadi tidak perlu ada dikotomi ilmu karena sejatinya semuanya
ilmu dari Allah yang seyogianya dipelajari.[9]
Menjadi mahasiswa, khususnya di STAIN Kudus, banyak sekali ilmu agama dan ilmu
umum yang dipelajari untuk setiap prodi. Maka ini menjadi kesempatan emas yang
sebaiknya dimanfaatkan untuk sekaligus mempelajari ilmu-ilmu agama dan umum
supaya pengetahuan makin berkembang dan mampu berkontribusi untuk kemajuan
bangsa ini.
Ketiga, gang yang
berarti dagang mempunyai maksud seyogianya menjadi seorang mahasiswa yang
kreatif dalam berdagang; berlatih berwirausaha untuk mempersiapkan personal
yang mandiri dan dapat membantu perekonomian Negara. Mahasiswa dapat memulai
belajar berwirausaha sejak masih di bangku perkuliahan. Adapun beberapa usaha
yang dijalankan oleh mayoritas mahasiswa adalah dengan menjadi reseller atau penjual. Dengan usaha ini,
meski belum bisa menciptakan hal kreatif ciptaan sendiri, tetapi setidaknya
sudah memulai belajar untuk berwirausaha. Karena untuk menciptakan hal besar
harus dimulai dengan langkah-langkah sederhana.[10]
Dengan usaha ini, setidaknya seorang mahasiswa dapat membuktikan bahwa
mahasiswa tidak selalu meminta uang kepada orang tua saja, tetapi mahasiswa
juga dapat memberikan untuk orang tua.
Di tengah-tengah kita ada sebuah istilah
“adat-istiadat”. Dalam bahasa Arab, artinya suatu kebiasaan (‘adah) yang diminta untuk diulang-ulang (isti’adah-wazan
istif’al). Artinya, kebiasaan baik perlu upaya transformasi nilai secara
terus menerus sehingga menjadi budaya suatu masyarakat. Prosesnya dari
kebiasaan akan menjadi tradisi dan selanjutnya akan menjadi budaya, dan inilah
modal paling mahal dalam membangun peradaban bangsa.[11]
Mengetahui dan memahami sesuatu tanpa diamalkan dalam keseharian adalah sebuah
kebodohan besar. Maka dari itu, setelah mengetahui poin penting ajaran karakter
dalam Gusjigang langkah selanjutnya adalah dengan menerapkannya dalam
keseharian dan menjadikannya sebuah kebiasaan.
Dengan mengimplementasikan karakter Gusjigang dalam
diri seorang mahasiswa, terkhusus mahasiswa STAIN Kudus dapat menjadi langkah
vital untuk menciptakan karakter agami, berbudi pekerti dan mandiri. Maka
mahasiswa jaman now STAIN Kudus akan dapat menjadi referensi dalam bermoral
untuk mahasiswa di seluruh Indonesia. Dengan begitu, terciptanya Negara yang
damai dan berdaulat sudah bukan menjadi impian.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ditengah arus budaya globalisasi dengan semakin
canggihnya teknologi, beberapa orang berlomba untuk menjadi sosialita dengan
menyuguhkan hal berbeda, tidak peduli bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.
Fenomena kids jaman now yang masih
menjadi pembicaraan hangat semua orang menjadi salah satu bukti bahwa generasi
yang diharapkan meneruskan estafet perjuangan bangsa ini sedang dilanda ‘sakit’
dan perlu ‘di obati’.
Mahasiswa, sebagai insan yang sudah dewasa dengan
daya pikirnya, seyogianya dapat memberikan contoh yang baik dalam bermoral.
Terdapat sebuah ajaran oleh Sunan Kudus yakni Gusjigang; bagus, pinter ngaji, dagang yang tepat sekali untuk
dijadikan referensi dalam bermoral terkhusus untuk mahasiwa STAIN Kudus agar
mampu menjadi referensi bermoral untuk semua mahasiswa di seluruh Indonesia.
B.
SARAN
Beberapa saran untuk
pembahasan karya ilmiah ini adalah:
1. Mahasiswa
STAIN Kudus seyogianya menerapkan Gusjigang dalam keseharian, agar selain
akhlaknya terdidik, juga pintar mengaji agama-umum juga pintar berwirausaha.
2. Perlu
diadakan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bernama GUSJIGANG yang kegiatannya
berkaitan dengan nilai-nilai yang termuat dalam Gusjigang.
Daftar
Pustaka
Ashgar, Ali, Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI, Jakarta: Bumen Pustaka
Emas,2013, hal 1.
Bahruddin,
Ahmad, Spirit Gusjigang Kudus dan
Tantangan Globalisasi Ekonomi, Jurnal Penelitian, Volume 9, Nomor 1,
Februari 2015, hal 21.
Dewa,
Ida, Gede Raka, Pembangunan Karakter dan
Pembangunan Bangsa, Bandung: Institute Teknologi Bandung, Last Lecture,
November, 2008, hal 8.
Faizah, Noor Wawancara Pribadi, 13 November 2017.
Nuh, Muhammad Menyemai Kreator Peradaban, Jakarta:
Penerbit Mizan, 2013, hal 56.
Said,
Nur, Gusjigang dan Kesinambungan Budaya
Sunan Kudus, Jurnal Penelitian, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2013, STAIN
Kudus, hal 124.
Said, Nur, wawancara pribadi, 23 September 2017
Setia Budi, Noor Wawancara
Pribadi, 13 November 2017.
[1]
Nur Said, Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan
Kudus, Jurnal Penelitian, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2013, STAIN
Kudus, hal 124.
[4]
Ida I Dewa Gede Raka, Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa,
Bandung: Institute Teknologi Bandung, Last Lecture, November, 2008, hal 8.
[5]
Ali Ashgar dan Aridho
Pamungkas, Perpecahan HMI, Jakarta:
Bumen Pustaka Emas,2013, hal 1.
[6]
Noor Setia Budi, Wawancara
Pribadi, 13 November 2017.
[7]
Ahmad Bahruddin, Spirit Gusjigang Kudus dan Tantangan
Globalisasi Ekonomi, Jurnal Penelitian, Volume 9, Nomor 1, Februari 2015,
hal 21.
[8]
Nur Said, wawancara pribadi, 23 September 2017.
[9] Nur Said, Wawancara
Pribadi, 23 September 2017.
[10]
Noor Faizah, Wawancara Pribadi, 13 November 2017.
Komentar
Posting Komentar