SYIRKAH DAN MUDHARABAH MAKALAH
SYIRKAH DAN MUDHARABAH
MAKALAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat
sejak dahulu tidak terlepas dari proses jual-beli dan kerjasama dalam bidang
perekonomian. Dalam ilmu fiqih tersapat macam-macam kerja sama dalam
perekonomian yang memang penting untuk di pelajari untuk kemaslahatan
masyarakat atau umat. Dan apa bila akan ada beberapa orang yang akan berserikat
dalam kerjasama ini,maka tergantung ingin berkerja sama dengan cara yang di
ingin kan dan sesua dengan kemampuan individu masing-masing dan ketentuan
ketentuanya.
Syirkah
merupakan salah satu kerjasama antara pemilik modal dan seorang pekerja
dannanti keuntugannya di bagi menurut akadnya yang dilandasi oleh rasa tolong
menolong. sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian
dalam menjalankan roda perusahaan. Sistem ini telah ada sejak jaman sebelum
islam karena megandung nilai-nilai positif dan telah dikerjakan oleh Nabi SAW.(
Sebelum diangkat menjadi Rosull) dengan
megambil modal dari khodijah sewaktu berniaga kesam (Syiria). Terdapat beberapa
bentuk kerja sama dalam pandagan islam, yaitu Syirkah, mudarabah atau qiradh,
musaqah, mujaraah, dan muhabarah.Untuk mengetahui kejelasan dari bentuk-bentuk
atau macam-macam kerjasama di atas maka diperlukan kajian yang seksama. Untuk
itu, akan dibahas lebih jelas khususnya syirkah dan mudarabah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Syirkah dan Mudarabah?
2.
Bagaimana dasar hukum Syirkah dan Mudarabah?
3.
Apa saja jenis-jenis Syirkah dan Mudarabah?
4.
Bagaimana penjelasan rukun dan syarat Syirkah dan Mudarabah?
5.
Bagaimana implementasi Syirkah dan Mudarabah dalam Lembaga Keuangan
Syariah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syirkah
Secara
bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (pencampuran) dan persekutuan. Yang dimaksud dengan
pencampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang
lain sehingga sulit untuk membedakannya.
Adapun
menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama:
1. Menurut ulama Hanafiah
Syirkah yaitu, “Akad
antar dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.
2. Menurut ulama Malikiyah
Syirkah yaitu, “Izin
untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta
mereka”.
3. Menurut Hasby as-Shiddiqie
Syirkah yaitu, “Akad
yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling tolong menolong dalam
suatu usaha dan membagi keuntungannya”.[1]
Jika dilihat dari tiga definisi diatas
sesungguhnya perbedaan hanya bersifat redaksional, namun secara esensial
prinsipnya sama yaitu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam
sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara
bersama.
B.
Dasar Hukum Syirkah
Syirkah memiliki kedudukan yang sangat
kuat dalam islam. Sebab keberadaannya diperkuat oleh al-Qur’an, hadits, ijma
ulama. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan pentingnya
syirkah diantaranya terdapat dalam al-Qur’an.
1. Surat an-Nisa ayat 12.
Artinya: “Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga” (Q.S an-Nisa ayat 12)
2. Surat Saad ayat 24.
Artinya:
“Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholeh dan amat sedikit mereka itu”. (Q.S Saad Ayat 24)
Adapun dalam hadits, Rasulullah
bersabda:
Artinya:
“Aku adalah orang ketiga dari dua hamba-Ku yang bekerjasama selama keduanya
tidak berkhianat. Jika salah satunya berkhianat, maka Aku akan keluar dari
keduanya dan penggantinya adalah syetan”. (HR. Abu Daud).
Berdasarkan sumber hukum diatas maka
secara ijma para ulama sepakat bahwa hukum syirkah yaitu boleh.[2]
C.
Jenis-Jenis Syirkah
Syirkah merupakan kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya
ditanggungsecara bersama. Hukumnya sangat dianjurkanjika kedua belah pihak
saling amanah, Haram jika keduanya berkhianat. Para ulama fiqh membagi syirkah
menjadi dua macam yaitu:
1.
Syirkah
Amlak (perserikatan dalam kepemilikan)
Menurut
sayyid sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlak adalah bila lebih dari satu
orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiari atau
jabari. Artinya barang tersebut. Syirkah amlak dibagi menjadi dua yaitu:
a. Ikhtiari atau disebut (syirkah amlak
ikhtiari) yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang
berserikat, seperti dua orang yang sepakat untuk membeli suatu barang.
b. Jabari (syirkah amlak jabari)
perserikatan yang muncul secara paksa bukan keinginan orang yang berserikat,
seperti harta warisan.[3]
Hukum syirkah amlak menurut para fukaha,
hukum kepemilikan syirkah amlak di sesuaikan dengan hak masing-masing yaitu
bersifat sendiri-sendiri secara hukum. Artinya seseorang tidak berhak
menggunakan atau menguasainya tanpa izin dari yang bersangkutan. Karena
masing-masing mempunyai hak yang sama.
2.
Syirkah
Uqud (perserikatan berdasarkan akad)
Syirkah
uqud adalah dua orang atau lebih melakukan akad untuk bekerja sama (berserikat)
dalam modal dan keuntungan. kerjasama ini didahului dengan transaksi penanaman modal dan kesepakatan pembagian
keuntungan.
a. Syirkah
al-Inan (penggabungan
harta atau modal 2 orang atau lebih yang tidak harus sama jumlahnya) boleh satu
pihak memiliki modal lebih besar daripihak lain. Demikian halnya, dengan beban
tanggung jawab dan bekerja, boleh satu pihak bertanggung jawab penuh sedangkan
pihak lain tidak. Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati
sebelumnya, jika mengalami kerugian resiko ditanggung oleh kedua pihak.
b. Syirkah
al-Mufawadhah (perserikatan
modal dan bentuk kerja sama dari semua pihak, baik kualitas dan kuantitasnya
harus sama dan keuntungan dibagi rata) dalam syirkah al-mufawadhah ini masing-masing pihak harus bekerja.
Menurut Sayyid Sabiq ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1)
Jumlah modal masing-masing sama, jika
berbeda maka tidak sah.
2)
Memiliki kewenangan bertindak yang sama,
maka tidak sah syirkah antara anak
kecil dengan orang dewasa.
3)
Agama yang sama, maka tidak sah syirkah antara muslim dengan non muslim.
4)
Masing-masing pihak dapat bertindak sebagai
penjamin bagi yang lain atas apa yang dibeli ataupun dijual.
c. Syirkah
al-Abdan (
perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya di bagi bersama sesuai dengan
kesepakatan). Artinya perserikatan antara dua orang atau lebih untuk menerima
suatu pekerjaan seperti tukang besi, dan tukang angkut.
d. Syirkah
al-Wujuh (
perserikatan tanpa modal) artinya dua orang atau lebih membeli suatu barang
tanpa modal, yang terjadi adalah hanya berpegang kepada nama baik dan
kepercayaan pra pedagang terhadap mereka. syirkah
ini adalah syirkah tanggung jawab
tanpa kerja dan modal.
e. Syirkah
al-Mudarabah (bentuk
kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang punya keahlian dagang, dan
keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama sesuai kesepakatan) adapun
kerugia ditanggung oleh pemilik modal saja. Menrut Hanabilah, mudarabah dapat
dikatakan syirkah apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:
1)
Pihak-pihak yang berserikat cakap dalam
bertindak sebagai wakil.
2)
Modal berbentuk uang tunai.
3)
Jumlah modal harus jelas.
4)
Diserahkan langsung kepada pekerja
(pengelola) dagangan itu setelah disetujui.
5)
Pembagian keuntungan diambil dari hasil
perserikatan itu bukan dari harta yang lain.[4]
D.
Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah
adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada
perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah
rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan penawaran
melakukan perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Istilah
ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Contoh lafal ijab kabul,
seseorang berkata kepada partnernya “Aku bersyirkah untuk urusan ini”
partnernya menjawab “telah aku terima”. Jika ada yang menambahkan selain
ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang
berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi
termasuk syarat.[5]
Adapun menurut Abdurrahman al-Jaziri rukun syirkah meliputi dua orang
yang berserikat, shigat, objek akad syirkah baik itu berupa harta maupun
kerja. Adapun menurut jumhur ulama rukun syirkah sama dengan apa yang
dikemukakan oleh al-Jaziri di atas.
Jika dikaitkan
dengan pengertian rukun yang sesungguhnya maka sebenarnya pendapat al-Jaziri
atau jumhur ulama lebih tepat sebab di dalamnya terdapat unsur-unsur penting
bagi terlaksananya syirkah yaitu dua orang yang berserikat dan objek syirkah.
Adapun pendapat Hanafiyah yang membatasi rukun syirkah pada ijab dan
kabul saja itu masih bersifat umum karena ijab kabul berlaku untuk semua
transaksi.
Adapun syarat syirkah
merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakannya syirkah.
Jika syarat tidak terwujud maka transaksi syirkah batal.[6]
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat
bagian berikut ini.
1.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik
dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat,
yaitu; a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat
diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya
setengah, sepertiga dan yang lainnya.
2.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal
ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang
dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud)
seperti Junaih, Riyal, dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada
ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama mauoun berbeda.
3.
Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa
dalam mufawadhah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah
mufawadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah,
c) bagi yang dijadikan onjek akad disyaratkan syirkah umum, yakni
pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.
Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan
syarat-syarat syirkah mufawadhah.
Menurut
Malkiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah
merdeka, baligh, dan pintar (rusyd)
Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan
syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula
oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang
(pihak) yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik harta
maupun kerja. Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut
ini:
1.
Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota
serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2.
Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka
adalah wakil yang lainnya.
3.
Mencampurkan harta sehinga tidak dapat dibedakan hak masing-masing,
baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.[7]
E.
Implementasi Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Implementasi
Syirkah dalam LKS harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Proyek atau kegiatan usaha yang akan dikerjakan feasible dan
tidak bertentangan dengan syariah.
2.
Pihak-pihak yang turut dalam kerja sama memasukkan dana musyarakah,
dengan ketentuan:
a.
Dapat berupa uang tunai atau aset yang likuid.
b.
Dana yang tertimbun bukan lagi milik perorangan, tetapi menjadi
dana usaha.
Musyarakah atau syirkah dalam konteks perbankan merupakan akad
kerjasama pembiayaan antara bank syariah (Islamic Banking), atau
beberapa keuangan secara bersama-sama, dan nasabah untuk mengelola suatu
kegiatan usaha. Masing-masing memasukkan penyertaan dana sesuai porsi yang
disepakati. Pengelolaan kegiatan usaha, dipercaya kepada nasabah. Selaku
pengelola, nasabah wajib menyampaikan laporan berkala mengenai perkembangan
usaha kepada bank-bank sebagai pemilik dana. Disamping itu, pemilik dana dapat
melakukan intervensi kebijakan usaha.
Pembiayaan syirkah dalam dunia perbankan syariah anatara
lain adalah sebagai berikut:
1.
Pembiayaan dalam modal kerja; dapat dialokasikan untuk perusahaan
yang bergerak dalam bidang konstruksi, industri, perdagangan, dan jasa.
2.
Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang
bergerak dalam bidang industri.
3.
Pembiayaan secara indikasi; baik untuk kepentingan modal kerja
maupun investasi.[8]
F.
Pengertian Mudharabah atau Qiradl
Mudharabah
atau Qiradl adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk
modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian
(perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi dua atau dibagi tiga
seumpamanya.[9]
Mudharabah
juga di definisikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak
pertama yang menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola.
Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila
rugi, kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
bukan akibat dari kelalaian pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian
pengelola, pengelola bertanggung jawab mengatasinya.[10]
Rasulillah Saw. telah melakukannya,
beliau mengambil modal dari Siti Khadijah sewaktu beliau berniaga ke Syam.
Begitu pula ijma’ sahabat.
Qirad memang telah ada di masa Jahiliyah
(sebelum islam), kemudian ditetapkan (diperbolehkan) oleh agama Islam.
Peraturan Qirad ini diadakan karena benar-benar dibutuhkan oleh umat manusia.
Betapa tidak, ada orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang,
atau tidak berkesempatan; sedang yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai
waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal. Qirad berarti juga untuk
kemajuan bersama; perdagangan juga mengandung arti tolong-menolong.
G.
Hukum Mudharabah atau Qiradl
Mudharabah
mempunyai landasan dari Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Mudharabah
hukumnya adalah mubah (boleh), sebagaimana firman Allah swt :
1. Firman Allah dalam surat al-Muzammil
ayat 20
Artinya: “…berkeliaran di muka bumi
mencari karunia Allah”
2. Q.S Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya:
“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”.
3. Q.S Al Baqarah, ayat 198
Artinya: Tiada dosa
atas kamu sekalian akan mencari kelebihan dari Tuhanmu. (QS. Al Baqarah ayat
198).
Pada dasarnya ayat-ayat diatas tidak
secara langsung menjelaskan atau melegitimasi akad mudharabah, hanya saja
secara maknawi mengandung arti kegiatan ekonomi melalui mudharabah. Dengan
demikian, ayat-ayat tersebut bisa dijadikan landasan hukum akad mudharabah. Landasan
dari al-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:
1. Hadis riwayat Imam baihaqi dari Ibnu
‘Abbas:
“Dari Ibnu Abbas, bahwa
Ibnu Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dan ake mitra usahanya secara
mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan
tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. pun,
membolehkannya.”
2. Hadits riwayat Ibnu Majjah
“Dari Shuhaib, ra., :
Bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: “ada tiga hal yang didalamnya berisi
berkah, yaitu: “jual-beli dengan kontan, menyerahkan permodalan dan mencampur
gandum dengan sya’ir untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.[11]
Mudharabah
atau Qiradl sewaktu-waktu boleh difasakh (dibubarkan) oleh yang punya modal
atau oleh orang yang diserahi pekerjaan itu. Jika salah satu orang dari mereka
meninggal atau gila, maka qiradl itu batal.[12]
H.
Jenis-jenis
mudharabah
Secara
garis besar mudharabah dibagi menjadi
dua yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam akad mudharabah mutlaqah pengelola modal di
beri keleluasaan dalam mengelola dan menjalankan modal. Keleluasaan menentukan
jenis usaha, termasuk lokasi, dan tujuan usah. Pemilik modal tidak menentukan
jenis usaha yang harus dijalankan oleh pengelola modal.
Sementara
dalam akad mudharabah muqayyadah, pemilik modal sudah
menentukan usaha yang harus dijalankan oleh pengelola modal. Oleh karena itu
dia harus menjalankan usaha sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik modal saat
akad. Jenis usaha, lokasi, jangka waktu, dantujuan usaha harus sesuai dengan
kesepakatan dan apa yang telah ditentukan oleh pemilik modal.
Ketentuan-ketentuan
dalam akad mudharabah. Ada beberapa ketentuan yang harus dimengerti dan
dipatuhi oleh masing-masing pihak yang melaksanakan akad mudharabah. Ketentuantersebut sebagai berikut:
1.
Pada akad mudharabah mutlaqah, pengelola modal tidak diperbolehkan melakukan
tindakan-tindakan yang keluar dari ketentuan syara’.
2.
Pada akad mudharabah muqayyadah, pengelola
modal dalam pengelolaan modal tidak diperbolehkan menjalankan modal diluar
usaha yang telah ditentukan bersama dengan pemilik modal.
3.
Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan
mengambil atau berhutang dengan menggunakan uang modal untuk keperluan lain
tanpa seizin pemilik modal.
4.
Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan
untuk membeli komoditi atau barang yang harganya lebih tinggi dari modal yang
telah di sediakan.
5.
Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan
mengalihkan modal kepada orang lain dengan akad mudharabah, atau dengan kata lain mengoper modal untuk akad mudharabah.
6.
Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan
mencampur modal dengan harta miliknya.
7.
Pengelola modal hendaknya melaksanakan
usaha sebagaimana mestinya.[13]
I.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Akad mudharabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
mudharabah ada lima, yaitu pemilik modal (sahibul mal), pelaku usaha
atau pengelola modal (mudarib), modal (ra’sul mal), pekerjaan
pengelola modal, (al-‘amal) dan keuntungan (al-ribh). Penggunaan
modal pada dasarnya untuk perdagangan, namun pada praktiknya tidak selalu
digunakan untuk bidang perdagangan, akan tetapi juga ada yang digunakan untuk
usaha dalam bidang jasa.
Mudharabah yang sah harus memenuhi syarat. Syarat yang melekat pada
rukunnya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad. Kedua belah
pihak yang berakad, pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola modal (mudarib)
harus cakap bertindak atau cakap hukum. Berakal dan baligh, dalam akad mudharabah
kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan harus muslim.
Kedua, syarat yang terkait dengan modal adalah sebagai berikut:
1.
Modal harus berupa uang atau mata uang yang berlaku di pasaran.
Menurut mayoritas ulama modal dalam mudharabah tidak boleh berupa
barang, baik bergerak maupun tidak.
2.
Modal harus jelas jumlah dan nilainya. Ketidakjelasan modal akan
berakibat pada ketidakjelasan keuntungan, sementara kejelasan modal merupakan
syarat sah mudharabah.
3.
Modal harus berupa uang cash, buka piutang. Berdasarkan
syarat ini, maka mudharabah dengan modal berupa tanggungan utang
pengelola modal kepada pemilik modal.
4.
Modal harus ada pada saat dilaksanakannya akad mudharabah.
5.
Modal harus diserahkan kepada pihak pengelola modal atau pengelola
usaha (mudarib), bila modal tidak diserahkan maka akad mudharabah rusak.
Persyaratan
yang terkait dengan keuntungan atau laba dalam akad mudharabah adalah
sebagai berikut:
1.
Jumlah keuntungan harus jelas. Selain itu, proporsi pembagian hasil
antara pemilik modal dan pengelola modal harus jelas, karena dalam mudharabah
yang menjadi ma’qud alaih atau obyek akad adalah laba atau keuntungan,
bila keuntungan atau pembagiannya tidak jelas maka akad diangap rusak. Proporsi
pembagian hasil misalnya 50:50, 60:40, 65:35 dan seterusnya.
2.
Sebagai tambahan untuk syarat pada poin satu di atas, disyaratkan
juga bahwa proporsi atau presentase pembagian hasil dihitung hanya dari
keuntungan, tidak termasuk modal.
3.
Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah
modal yang diberikan sahibul mal. Penghitungan bagi hasil harus
berdasarkan keuntungan yang didapat.
4.
Tidak boleh menentukan jumlah tertentu untuk pembagian hasil,
misalnya Rp. 1000.000, Rp. 5000.000 dan seterusnya. Karena keuntungan atau
hasil yang akan diperoleh belum diketahui jumlahnya. Oleh karena itu, maka
pembagian hasil berdasarkan presentase, bukan berdasarkan jumlah tertentu.[14]
J.
Implentasi Mudharabah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1.
Pengertian (dalam Konteks Pembiayaan)
a.
Keuntungan usaha dibagi berdasarkan perbandingan nisbah yang
telah disepakati dan pada akhir periode kerja sama nasabah harus mengembalikan
semua modal usaha lembaga keuangan.
b.
Dalam hal terjadi kerugian, maka akan menjadi tanggungan lembaga
keuangan, kecuali bila kerugian diakibatkan oleh kelalaian nasabah. Untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kerugian, lembaga keuangan harus memahami
karateristik risiko usaha tersebut dan kerja sama dengan nasabah untuk
mengatasi berbagai masalah.
2.
Aplikasi (dalam Konteks Pembiayaan)
a.
Pembiayaan modal kerja; modal
bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, perdagangan, dan jasa.
b.
Pembiayaan investasi;
untuk pengadaan barang-barang modal, aktiva tetap dan sebagainya.
c.
Pembiayaan investasi khusus; bank bertindak dan memosisikan diri sebagai arranger yang
mempertemukan kepentingan pemilik dana, seperti yayasan dan lembaga keuangan
non-bank, dengan pengusaha yang memerlukan.
3.
Praktik Pembiayaan Mudharabah
Penempatan dana
dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan berakad jual beli maupun syirkah atau
kerja sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (bai’bil tsaman
al-ajiil dan murabahah), maka bank akan mendapatkan margin
keuntungan. Pembagiannya tidak begitu rumit. Namun, jika pembiayaan berkaitan
dengan akad syirkah (musyarakah dan mudharabah), maka pembiayaan ini
membutuhkan perhitungan-perhitungan yang cukup njlimet.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak dalam pembiayaan mudharabah
(bagi hasil), yaitu (a) nisbah bagi hasil yang disepakati, (b) tingkat
keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh karena itu, bank sebagai pihak yang
memiliki dana akan melakukan perhitungan nisbah yang ada dijadikan
kesepakatan pembagian pendapatan.
4.
Cara Menentukan Nisbah
Nisbah merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil. Sebab, nisbah
merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang
melakukan transaksi. Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu
diperhatikan aspek-aspek: data usaha, kemampuan angsuran, hasil usaha yang
dijalankan atau tingkat return aktual bisnis, tingkat return yang
diharapkan, nisbah pembiayaan dan distribusi pembagian hasil.
Penentuan
nisbah bagi hasil dibuat sesuai dengan jenis pembiayaan mudarabah yang
dipilih. Ada dua jenis pembiayaan mudarabah, yaitu mudarabah mutlaqah
dan mudarabah muqayyadah.
a.
Nisbah bagi hasil
pembiayaan mudarabah mutlaqah
Pembiayaan
mudarabah mutlaqah adalah pembiayaan yang memiliki dana tidak diminta
syarat, kecuali syarat baku untuk berlakunya kontrak mudarabah. Untuk
ini, nisbah dibuat berdasarkan metode expected profit rate (ERP). ERP
diperoleh berdasarkan (1) tingkat keuntungan rata-rata pada industri
sejenis; (2) pertumbuhan ekonomi; (3) dihitung dari nilai requeired profit
rate (RPR) yang berlaku di bank yang bersangkutan.
b.
Nisbah bagi hasil
pembiayaan mudarabah muqayyadah
Pada
pembiayaan jenis ini, nasabah menuntut adanya nisbah yang sebanding
dengan situasi bisnis tertentu. Dengan kata lain, pada kontrak pembiayaan mudarabah
muqayyadah pemilik dana menambah syarat lain di luar syarat kebiasaan mudarabah.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (pencampuran) dan persekutuan. Secara istilah,
syirkah merupakan bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam sebuah
usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Syirkah memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam islam. Sebab keberadaannya
diperkuat oleh al-Qur’an, hadits, ijma ulama. Syirkah dibagi menjadi dua
yaitu Syirkah Amlak (perserikatan dalam
kepemilikan) dan Syirkah Uqud (perserikatan berdasarkan akad). Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah
itu berlangsung. Ada perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut
ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan
penawaran melakukan perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan).
Adapun menurut Abdurrahman al-Jaziri rukun syirkah meliputi dua orang
yang berserikat, shigat, objek akad syirkah baik itu berupa harta maupun
kerja. Adapun menurut jumhur ulama rukun syirkah sama dengan apa yang
dikemukakan oleh al-Jaziri di atas. Adapun syarat syirkah merupakan
perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakannya syirkah. Jika
syarat tidak terwujud maka transaksi syirkah batal. Syarat-syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut ini: sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik
dengan harta maupun dengan yang lainnya, sesuatu yang bertalian dengan syirkah
mal (harta), sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, dan
adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan
syarat-syarat syirkah mufawadhah. Menurut Malkiyah syarat-syarat yang
bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah
‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Dijelaskan pula oleh
Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak)
yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja.
Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini:
Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat
kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu, anggota serikat itu saling
mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya, mencampurkan
harta sehinga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun
bentuk yang lainnya. Musyarakah atau syirkah dalam konteks
perbankan merupakan akad kerjasama pembiayaan antara bank syariah (Islamic
Banking), atau beberapa keuangan secara bersama-sama, dan nasabah untuk
mengelola suatu kegiatan usaha.
Mudharabah atau Qiradl adalah memberikan
modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan
untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad,
dibagi dua atau dibagi tiga seumpamanya. Mudharabah mempunyai landasan dari
Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Secara garis besar mudharabah
dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Akad mudharabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
mudharabah ada lima, yaitu pemilik modal (sahibul mal), pelaku usaha
atau pengelola modal (mudarib), modal (ra’sul mal), pekerjaan
pengelola modal, (al-‘amal) dan keuntungan (al-ribh). Mudharabah
yang sah harus memenuhi syarat. Syarat yang melekat pada rukunnya.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, syarat yang
terkait dengan para pihak yang berakad, Kedua, syarat yang terkait
dengan modal, dan ketiga persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau
laba. Implementasi mudarabah dalam lembaga keuangan syariah meliputi pengertian
(dalam konteks pembiayaan), aplikasi (dalam konteks pembiayaan), praktik pembiayaan
mudharabah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqi,
Hasby. Pengantar Fiqh Muamalah. 1984. Jakarta:Bulan Bintang.
Ghazaly,
Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, 2010. Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP.
Mustofa,
Imam. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. 2015. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Rasjid,
H.Sulaiman. FIQIH ISLAM (Hukum fiqih Islam). 2015. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Rifa’I,
Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. 1978. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang.
Suhendi,
Hendi. Fiqh Muamalah. 2005. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wardiah,
Mia Lasmi. Dasar-dasar Perbankan.2013. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. 2005.
Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir.
[1] Hasby Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta, Bulan
Bintang, 1984. Hlm 89.
[2] Abdul
Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2010. Hlm. 128
[3]Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2015, hlm. 110.
[4] Abdul Rahman
Ghazali dkk, Op.Cit, hlm. 131-13.
[5] Wahbah
Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr
al-Muashir, 2005, hlm.804.
[6] Abdul Rahman
Ghazaly dkk, Op.Cit, hlm.129.
[7] Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm.127-129.
[8] Imam Mustofa, Op.Cit,
hlm. 123-124.
[9] H.Sulaiman
Rasjid, FIQIH ISLAM (Hukum fiqih Islam),
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015. Hlm. 299-300
[10] Mia
Lasmi Wardiah, Dasar-dasar Perbankan,
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013. Hlm. 95
[11] Imam
Mustofa, Op.Cit, hlm. 129-130.
[12] Moh.
Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang:
PT. Karya Toha Putra Semarang, 1978. Hlm
419-420.
[13] Imam Mustofa, Op.Cit, hlm.134-135.
[14] Ibid, hlm.
132-133.
[15] Ibid, hlm. 139-141.
Komentar
Posting Komentar